selamat lebaran.
kemarin kita baru saja memeluk penuh harap agar berjumpa dengan ramadan berikutnya.
ramadan, momentum yang kita hitung mundur mungkin sejak 100 hari menjelang kedatangannya, terlepas perasaan apa yang menyertai.
"tidak terasa, 100 hari lagi ramadan"
"tidak terasa, ramadan menghitung hari"
sampai kita menyapa, "marhaban ya ramadan"
sampai kita tidak merasa, ramadan telah berlalu.
rapalan mantra terucap agar kita kembali menjumpai ramadan dengan utuh, dengan penuh, dan seteduh mungkin.
lalu kita sembari bersiap
menjemput yang disebut sebagai hari kemenangan kita
perayaan idulfitri menjadi hari yang aku selalu tunggu, seterbatas atau semelimpah apapun perasaannya
dengan lega, dengan bahagia, dan dengan sukacita.
bertukar maaf merobohkan dinding ego dalam diri,
bertemu kerabat jauh yang bisa jadi hanya setahun sekali,
saling berkunjung yang biasanya kita enggan jika tidak ada keperluan
menyantap beragam jajanan tanpa kira-kira, "mumpung lebaran"
dan sebagainya, dan sebagainya.
meski perlu diakui, momentum lebaran tak jarang menjadi momentum kita untuk menguak kembali luka-luka yang kita sudah coba rawat sedemikian rupa.
mungkin sedari kita kecil, sedari selangkahpun belum dalam gapaian kita. untungnya ingatan kita tidak sekuat itu, untungnya indra-indra dalam diri kita belum menerimanya secara sempurna.
"kok dia belum bisa berjalan ya"
"kok dia belum banyak berbicara"
"kok dia kurus banget"
sampai kita mulai memasuki ruang-ruang sekolah
"sudah bisa membaca?"
"lho, belum bisa naik sepeda? sudah kelas 3"
"peringkat berapa? oh memang muridnya sedikit"
sampai kita mulai menjumpai pilihan-pilihan yang kian serius,
"kenapa sekolah cepat-cepat?"
"kenapa sekolah di sana?"
"kenapa pilih jurusan itu?"
"kok belum lulus?"
"kerja di mana?"
"kok belum menikah? kapan ini?"
sampai sebagian dari kita segera mengamini, bahwa pertanyaan-pertanyaan serupa dengan beragam tingkatan itu semakin mengikat leher kita kuat-kuat. satu terlawati dan yang lain sudah dalam antrean.
aku ingin segera pulang.
dalam situasi demikian, rasanya cukup tertekan.
sampai aku melupakan, orangtua kita mungkin juga menahannya mati-matian.
untuk membungkam pertanyaan-pertanyaan serupa, segera saja mereka mulai sampaikan capaian-capaian anaknya,
sebagai upaya mereka melindungi, merawat, dan menegarkan kekhawatiran yang juga timbul dalam benaknya.
seringkali secara berlebihan, hal yang tidak seindah itu, disampaikan dengan lantang.
lalu semakin menjadi ajang perlombaan, persaingan, dan perebutan.
untuk kita, sebagai anak-anaknya, rasanya mungkin tidak lagi beraturan.
tapi begitulah kehidupan, rangkaian peristiwa lebaran yang demikian juga menjadi rangkaian kita menemui laku perjalanan kita.
aku mungkin ingin sampaikan, aku tidak berlomba dengan apapun dan dengan siapapun.
nyatanya jawaban itu saja pun tidak dapat menyengap pikiran-pikiran dalam kepalaku.
subjek-subjek yang menyampaikan berbagai pertanyaan-pertanyaan refleksi tersebut mungkin juga tidak berniat sejauh itu menghakimi kita.
tidak jarang mereka kemudian juga menyampaikan doa-doa untuk kita.
harapan-harapan kita mungkin banyak yang belum menjumpai finalnya,
langkah kita mungkin tidak begitu jelas hendak ke mana,
tujuan kita tentu mungkin berbeda-beda.
apapun itu, semoga sehat dan bahagia, semoga damai tentram dan limpahan syukur menyertai kita.
selamat lebaran! mohon maaf lahir dan batin atas segala tindak-tanduk yang tidak berkenan.
Komentar