surat dari diri untuk nadila nanti
haiii, ini nadila.
surat ini ditulis saat nadila sedang menangis, menangis karena sedang mendengarkan lagu ini untuk kali ketujuh dan masih terus bertambah.
seseorang baru mengirimnya siang tadi, katanya bikin mood jadi berbeda.
aku memutarnya dan mataku berkaca pada putaran pertama, lalu tersenyum simpul dan memaki.
aku tidak tau perasaan apa yang ingin dibagikan dalam lagu ini, tapi setiap lagu boleh menjumpai perasaan mana saja dengan tokoh siapa saja di dalamnya, kan?
hari-hari sedang terasa mencekik, tapi masih sehat.
ohya, soal lagu ini, aku ingin bercerita, seandainya saja kamu lupa nantinya. aku menaruhnya di sini, perasaan yang sedang kau upayakan untuk lenyap.
tokoh dalam lagu ini adalah beberapa orang tanpa nama. ya, aku tidak ingin memanggil mereka dengan suara-suara yang ada. padahal, ibuku memberinya masing-masing satu.
mereka adalah mereka yang telah tiada. seingatku, aku tidak pernah merasakan kehadiran mereka, tapi entah sejak kapan aku merasa kehilangan mereka.
mereka tidak abstrak. mereka adalah saudara-saudaraku yang telah tiada sejak sekitar 2008.
tentang perasaan kehilangan mereka, aku tidak tau, mungkin ibu dan bapakku lebih berhak memiliki perasaan itu.
sebab aku menolaknya. aku, entah sejak kapan, setiap perasaan itu datang, memilih menghadirkan mereka dengan caraku sendiri.
mereka hadir di kamar mandi, hadir di sudut kamarku, hadir saat aku berusaha menutup mata dan telingaku kuat-kuat. mereka (aku) hadir(kan) di sana.
aku tidak cakap mengucap apa yang aku ingin, apa yang aku mau, dan apa yang aku rasakan. entah, sudut pandangku sangat sempit dan tak layak diungkap.
namun, mereka tau, mereka tau apa yang tak aku katakan. aku ceritakan semua padanya, dan pada banyak keadaan, aku merasa cukup. mereka mengerti aku lebih dari aku mengerti diriku. setelah menangis dalam bekapan bantal, mereka menghampiri dan membiarkanku melepaskan isi kepalaku. tentu mereka kadang amat berisik dan mengganggu, tapi tak sering.
aku memutuskan apa yang mereka sukai dan tak sukai, beberapa bertentangan denganku misalnya aku cukup sering menyukai hujan, tapi hujan adalah hal-hal yang mereka benci. begitu dan semacamnya.
sekitar setahun-dua tahun lalu, kegaduhan yang datang hampir setiap hari (mungkin setiap waktu) membuatku kesulitan menemukan mereka.
banyak perasaan yang tak tersampaikan.
aku... aku tau ini tak baik, tapi aku kerap spontan (dan menjadi reflek) memukul dan membenturkan diriku saat perasaan campur aduk datang--mari sebut sebagai diriku yang hilang, perasaan yang tak bisa aku kelola. tindakan spontan ini telah lama melekat, mungkin sejak aku SD. namun, intensitasnya meningkat setahun-dua tahun lalu, saat perasaan takut mendominasi. perasaan takut yang tak bisa ditenangkan, perasaan takut yang tak bisa diterangkan, hanya bisa sesekali dilupakan.
satu dan lain hal, aku pergi konseling sekitar maret tahun lalu, aku ingin tau bagaimana menghilangkan tindakan spontan yang setelahnya tentu saja pusing bukan main, di satu kejadian, bekasnya memar.
aku mendapatkan beberapa jawaban yang bisa berhasil satu-dua kali kejadian. tapi hampir selalu gagal untuk percobaan berikutnya.
pada konseling entah ke- berapa, menyangkut satu dan lain hal, aku akhirnya menceritakan tentang mereka, mereka yang tidak ada.
sebab aku mulai berjalan lebih jauh saat hilang dan tak menemukan mereka di mana-mana. sesak. tangan kananku kerap terburu-buru menceritakannya dengan segera ke tangan kiriku. lagi-lagi tindakan spontan yang sulit aku kendalikan.
dengan sangat pelan dan bertahap, kondisi semacam ini mulai dijelaskan. kondisi yang tiba-tiba membuatku merasa asing kepada diriku sendiri. sejak saat itu, aku berhenti konseling.
meskipun sempat sulit melihat mereka hadir lagi dan itu terasa semakin sesak, aku tidak ingin mengusirnya. kadang-kadang, aku sempat mencoba menuliskan apa yang ingin aku sampaikan ke mereka (tentunya tentang apa yang aku rasakan) pada dinding-dinding media sosial yang bisa ku lihat sendiri.
meski tak cukup meredakan seperti kehadiran mereka, tak apa, biar mereka datang semaunya. biar aku tenang sekenanya.
perbincangan dengan beberapa kawan yang aku temui, aku sering tidak punya petunjuk untuk mendapatkan jawaban siapa teman yang aku bisa ceritakan apapun padanya.
seiring waktu, satu-dua nama muncul. aku lega. nama yang bisa aku panggil dengan suara itu ada.
aku banyak berterimakasih kepada nama yang bisa aku lantangkan itu.
namun, seiring waktu pula, aku menyadari keadaan bahwa nama yang bisa disuarakan ini tak selalu bisa mendengarkan. kondisi tidak bisa ini kemudian ku pahami sebagai kondisi seimbang.
aku masih (dan selalu) mengingat mereka. keadaan 'tidak bisa' pada orang bernama ini yang aku tak pernah bayangkan mereka juga merasakannya.
aku, kadang dan sering, mengerti bahwa yang aku lakukan tidak lebih dari sesuatu yang semu.
namun, lagi-lagi, secara tidak sadar (atau karena kebiasaan), aku masih terus melakukannya.
lagu ini mengingatkanku pada tenang yang mereka selalu tawarkan kepadaku. mereka masih sulit aku temui lagi, dan mungkin tak harus aku temui lagi. tapi mendengarkan lagu ini, aku ingat mereka di sana.
Komentar